Kamis, 18 Agustus 2011

THR Bude Sayur


"Bu, sini..." panggil bude sayur, begitu saya sering menyebut perempuan penjual sayur keliling.

Saya heran. Jual beli dengannya sudah selesai. Ada perlu apalagi?
Olala...ternyata dia memberikan sebuah bungkusan. Ingatlah saya akan tradisi tukang sayur di sini. Memberi THR kepada pelanggannya.

Ini adalah kali pertama, saya diberi THR oleh bude sayur. Walaupun sebenarnya saya sudah mengalami tiga lebaran di sini. Lebaran pertama, saya belum tahu tradisi ini. Maklum, waktu itu, saya baru beberapa bulan tinggal di rumah baru. Lebaran kedua, saya tidak menerima, namun tetangga depan rumah mendapatkan THR darinya. Tak ada prasangka. Saya tahu diri. Tak setiap hari, saya belanja pada bude sayur. Kadang, saya meluangkan waktu ke pasar sendiri. Jadi, belanjanya hanya sedikit, kalau ada yang kurang-kurang saja. Berbeda dengan tetangga saya. Dia selalu belanja. Bahkan, tiap hari pesan sesuai dengan menu yang akan dimasaknya. Semuanya lengkap, terdiri dari sayur, lauk, serta bumbunya. Oleh karena itu, saya heran. Kenapa saya mendapatkanny? Padahal, saya masih tetap tak setiap hari belanja padanya. Bahkan, beberapa waktu ini, saya sering belanja di tukang sayur, yang mangkal di dekat sekolah anak saya. Sehabis mengantar, saya sekalian beli di sana.

Saya terkaget lagi begitu melihat isinya. Daster panjang merk terkenal dari kota batik. Bukankah harganya cukup lumayan? Berapa sih keuntungan yang diambil tukang sayur? Mungkin hanya ratusan sampai seribu tiap satu ikat sayur. Pun masih menanggung resiko bila jualannya tak habis hari itu juga. Tapi, dengan keuntungan minimal itu, mereka memikirkan untuk 'balas jasa' kepada para pembelinya, dengan memberikan hadiah lebaran.

Iseng, saya bertanya kepada seorang tetangga yang sering bantu-bantu di rumah.
"Bude sayur belanja di mana untuk THR ini, ya?"
Saya berharap, jawabannya adalah belanja ke sebuah pasar grosir, sehingga harganya menjadi lebih murah.
"Oh, ambil dia beli dari bu itu, Bu."
Rupanya, tetangga saya tahu, bahwa bude sayur membeli barang-barangnya dari tetangga lain yang menjual aneka barang kebutuhan. Dan, bisa dicicil.
Saya jadi berpikir, apakah barang-barang hadiah ini pun dibelinya dengan cara kredit? Rasa kasihan muncul. Dan itu membuat saya terdiam.
"Ya, nggak papa to, Bu. Kan dia juga udah bathi selama setahun." Seolah bisa membaca pikiran saya, tetangga saya menjelaskan.
"Iya, sih.."
Setelah itu, Bude cerita, bahwa semua pelanggan diberi THR dengan aneka barang.. Ada panci, penggorengan, kain, atau baju. Wow! Barang dengan harga lumayan semua.

Sebenarnya, tradisi tukang sayur memberi THR bukanlah pengalaman pertama. Waktu di rumah lama, tukang sayur di sana juga membagi hadiah. Namun, tidaklah semahal sekarang. Biasanya 'hanya' gula pasir setengah kilo, atau tepung terigu, saja. Tentu saja, nilai THR bukanlah dilihat dari harganya, tapi dari keikhlasan. Namun, membayangkan daster, juga panci dan barang lainnya, mengisi kereta sayur yang didorongnya setiap hari, membuat saya terharu melihat keseriusan bude sayur dalam membalas jasa para pelanggannya. Hanya sebuah doa yang akhirnya terucap, "Semoga kebaikan hatinya ini membuat usahanya berkah. Amin."

****
Tulisan ini dikutkan dalam lomba "THE UNTHINKABLE THINGS AROUND US"
Saya tertarik mengikutinya, karena tema seperti ini sering berputar-putar dalam otak saya. Bahkan tema seperti yang dicontohkan dalam MP mba Darnia, pernah saya tuliskan dalam bentuk cerpen anak, dan dimuat di Mombi SD.

Sesungguhnya, orang-orang yang sering 'tidak dianggap' itu sangat besar jasanya pada kita. Seharusnya kita berempati dan menghargai mereka.

Selasa, 16 Agustus 2011

Meninggal, Alhamdulillah??

Ada berita orang meninggal, disiarkan melalui pengeras suara masjid.
Syafiq : Alhamdulillah...
Saya : Mas...?? (Mendelik ke Syafiq yang artinya, 'yang bener aja?')
Syafiq: Meninggalnya bagus, Ma. Pas nuzulul quran bareng hari kemerdekaan.

****
Pikiran anak sulit ditebak :)

Minggu, 14 Agustus 2011

Naskah Pemanasan :)

Alhamdulillah, ada naskah dimuat di Mombi :)
Dikabari adik, yang udah duluan beli Mombi. Setelah itu, saya cari2 di lapak, bahkan sampai ke togamas, kok Mombi ini belum ada. Weih... Alhamdulillah, pas belanja, nemu deh majalahnya (tinggal satu-satunya). Shofie langsung seneng karena ada bonus gasingnya :)

Naskah ini adalah satu naskah pemanasan yang saya buat beberapa bulan lalu. Naskah pemanasan? Ya, salah satu tips ala saya bila lama tak menulis, sehingga ketika mau mulai lagi rasanya aras-arasen adalah melakukan pemanasan. Dan inilah salah satu kisahnya :d

Beberapa waktu lalu, selama kurang lebih dua bulan, waktu, tenaga, dan pikiran benar-benar terkuras. Pulang pergi Semarang- Magelang- Yogya berkali-kali, karena Rama sakit. Sampai Allah berkehendak menghilangkan rasa sakit beliau untuk selamanya.  

Setelah itu, walaupun aktifitas sudah berjalan normal di rumah, tapi tetap belum bisa langsung mulai nulis seperti sedia kala. Untuk membangkitkan atau membiasakan diri kembali adalah menulis cerita pendek (cernak pendek sekali) atau menuliskan kisah keseharian yang ringan-ringan saja.

Beberapa hari (hampir seminggu lebih) saya hanya menulis seperti itu. Sekedar ngisi blog, corat coret, balas email (bukan balas asal, tapi mengutarakan pendapat gitu deh), dll. Selain itu, juga tetep berusaha 'nembak' media. Nah, salah satu media 'sasaran' saya adalah Mombi. Cernak di sana tak perlu panjang-panjang. Cerita berima 100 kata juga bisa, deh. Dalam kondisi seperti ini, sehari dapat satu cernak juga sudah lumayan. Toh bukan kuantitas yang diperlukan di sini, tapi melemaskan jari dan mencairkan otak.  (Ehya, kadang beberapa naskah pemanasan ini kualitasnya kurang sih, hehe... Makanya ga pernah dimuat. Suka tersadar kalau jelek, saat baca ulang lagi )

Saat itu, saya nulis beberapa cernak, dan semuanya saya kirim ke Mombi. Sampai malu sama Pak Firdaus, hampir tiap hari kirim cerita hihihi...  "Ketika Aku Sakit", adalah salah satunya. Dan inilah cernak yang pertama saya buat. Lama di rumah sakit membuat ide ini muncul.

Cerita ini tidak 'murni' cernak fiksi, namun banyak pengetahuan yang ingin saya sampaikan. Misalnya istilah opname, infus, suster, dan lainnya, sesuai misi Mombi sebagai majalah pengetahuan. (Hemm... walaupun begitu semoga tidak tergolong cerita yang 'pinjam mulut orang dewasa' hehe...)

Alhamdulillah, nyanthol di Mombi edisi khusus Lebaran. Eh, majalahnya bagus, lho. Bonusnya banyak. Ada gasing, kartu lebaran yang dibuat sendiri (Shofie udah langsung bikin), tas dari kertas. Lembar aktifitas di dalamnya juga banyak. Mewarnai, labirin (Shofie paling suka), matematika juga. Yuk ah, dibeli..dibeli..hihihi..

Psstt...
Ada cerita lagi nih.
Ketika bersama Shofie buka-buka Mombi, dan sampai di cerita 'Ketika Aku Sakit', saya bilang padanya, "Dik, tulisan Mama, nih. A-a-en, Aan, namanya Mama, kan?"
"Yang bener?" katanya sambil membelalak. (Lagi demen banget pake kata-kata itu. Entah dapat darimana..)
"Iya,,,"
"Emangnya Mama nulis? Mama kan jualan buku?"
Gubrak!

Beberapa saat kemudian, dia ngambek, "Kok nggak ada nama Shofie?"
"Ya, udah tulis aja sendiri," Mama ngasal jawab.
Eh, untung jawaban ngasal itu manjur untuk mendiamkan kerewelannya. Langsung dia tulis namanya di bawah nama Mama. Kelihatan kan di scan-an itu? Hehe...